Jumlah populasi di dunia ini dari tahun ke tahun akan semakin bertambah dan jenis kebutuhan manusia akan meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah populasi di dunia. Hal ini juga terjadi pada kebutuhan akan energi semakin meningkat sehingga persediaan energi khususnya energi yang tidak dapat diperbaharui semakin berkurang pula kuantitasnya, bahkan lama-kelamaan akan habis. Hal ini dapat dilihat dari jumlah konsumsi BBM Indonesia terus meningkat. Saat ini, hampir 80% kebutuhan energi dunia dipenuhi oleh bahan bakar fosil. Padahal, penggunaan bahan bahar fosil bisa mengakibatkan pemanasan global.



Untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil (minyak/gas, bumi, dan batu bara) sebagai sumber energi yang tidak terbarukan, tentu akan mencari sumber-sumber energi lainnya yang akan digunakan sebagai bahan bakar alternatif atau pengganti asalkan potensi sumber dayanya mudah diperoleh secara lokal supaya harganya lebih murah dan terjangkau.



Biodiesel adalah salah satu bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan dan tidak beracun. Sehingga, lebih aman jika disimpan dan digunakan serta tidak mempunyai efek terhadap kesehatan yang dapat dipakai sebagai bahan bakar kendaraan bermotor. Biodiesel yang berasal dari minyak nabati dikenal sebagai sumber daya yang dapat diperbaharui karena umumnya dapat diekstrak dari berbagai hasil produk pertanian dan perkebunan.  Bahan baku yang berpotensi sebagai bahan baku pembuat biodiesel antara lain kelapa sawit, kedelai, jarak pagar, alpukat, dan beberapa jenis tumbuhan lainnya (Martini 2005).



Salah satu sumber bahan baku biodiesel adalah buah alpukat. Bagian dari buah alpukat yang dapat digunakan sebagai biodiesel adalah bijinya, melalui esterifikasi dan/transesterifikasi dengan alkohol serta bantuan katalis. Untuk mengetahui kelayakan minyak biji alpukat sebagai bahan baku biodiesel, maka perlu dilakukan beberapa pengujian untuk mengetahui angka asam, asam lemak bebas, densitas minyak, viskositas, dan yield.



Salah satu alasan mengapa menggunakan biji alpukat dibandingkan dengan tanaman lainnya dikarenakan buah alpukat banyak terdapat di lingkungan masyarakat yang bijinya belum dimanfaatkan secara maksimal. Selain itu, yang paling penting yaitu kandungan minyak biji alpukat lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman-tanaman seperti kedelai, jarak, biji bunga matahari, dan kacang tanah. Pemilihan biji alpukat sebagai salah satu sumber minyak nabati karena kandungan minyaknya relatif tinggi dibandingkan tanaman lain yaitu sekitar 2638 liter/ha dalam 2217 kg/ha. Sedangkan tanaman seperti jarak adalah 1892 liter/ha dalam 1590 kg/ha dan bunga matahari 925 liter/ha dalam 800 kg/ha. Selain itu, bahan bakar ini lebih ekonomis dan ramah lingkungan karena kadar belerang dalam minyak tersebut kurang dari 15 ppm, sehingga pembakaran berlangsung sempurna dengan dampak emisi CO, COserta polusi udara yang rendah (Sofia 2006).



Beragam penelitian mendukung penggunaan minyak biji alpukat sebagai biodiesel. The National Biodiesel Foundation (NBF) telah meneliti buah alpukat sebagai bahan bakar sejak 1994. Joe Jobe selaku direktur eksekutif NBF mengungkapkan bahwa biji alpukat mengandung lemak nabati yang tersusun dari senyawa alkil ester. Bahan ester itu memiliki komposisi yang sama dengan bahan bakar diesel, bahkan lebih baik dibandingkan solar sehingga gas buangnya lebih ramah lingkungan. Pemanfaatan biji alpukat sampai sekarang hanya digunakan sebagai obat penghilang stress saja dan belum dimanfaatkan untuk yang lainnya padahal biji alpukat memiliki kandungan fatty acid methyl ester sebagai bahan pembuat biodiesel. (Hidayat 2008)



 Biodiesel dibuat melalui suatu proses kimia yang disebut transesterifikasi dimana gliserin dipisahkan dari minyak nabati. Proses ini menghasilkan dua produk yaitu metil esters (biodiesel)/mono-alkyl esters dan gliserin yang merupakan produk samping. Bahan baku utama untuk pembuatan biodiesel ini adalah  minyak biji alpukat. Sedangkan sebagai bahan baku penunjang yaitu alkohol. Pada pembuatan biodiesel dibutuhkan katalis untuk proses esterifikasi, katalis dibutuhkan karena alkohol larut dalam minyak. Alkohol yang digunakan sebagai pereaksi untuk minyak nabati adalah methanol, namun dapat pula digunakan ethanol, isopropanol atau butyl, tetapi perlu diperhatikan juga kandungan air dalam alkohol tersebut. Bila kandungan air tinggi akan mempengaruhi hasil biodiesel yang kualitasnya rendah, karena kandungan sabun, ALB dan trigliserida tinggi. Disamping itu, hasil biodiesel juga dipengaruhi oleh tingginya suhu operasi proses produksi, lamanya waktu pencampuran atau kecepatan pencampuran alkohol.



Katalisator dibutuhkan pula guna meningkatkan daya larut pada saat reaksi berlangsung. Pada umumnya produksi biodiesel dilakukan menggunakan katalis homogen yaitu KOH atau NaOH yang memiliki beberapa kelemahan yaitu tidak dapat digunakan kembali. Selain itu dapat menghasilkan reaksi samping yang tidak diharapkan (saponifikasi), pemisahan antara katalis dan produk harus melalui berbagai tahapan sehingga meningkatkan biaya produksi. Pada katalis heterogen seperti: CaO, MgO, dan CaCOkelemahan diatas dapat dicegah karena katalis-katalis ini berbentuk padat, sehingga mudah dipisahkan dan dapat diperoleh kembali (recovery) melalui dekantasi dan filtrasi menggunakan alat yang sederhana. Dengan demikian dapat menghemat biaya produksi dan diharapkanyield yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan menggunakan katalis homogen. Katalis yang akan dipilih tergantung minyak nabati yang digunakan, apabila digunakan minyak mentah dengan kandungan ALB kurang dari 2%, disamping terbentuk sabun dan juga gliserin. Katalis tersebut pada umumnya sangat higroskopis dan bereaksi membentuk larutan kimia yang akan dihancurkan oleh reaktan alkohol.



Bahan baku yang digunakan pada pembuatan biodiesel ini yaitu biji alpukat. Biji alpukat dikeringkan pada suhu ±110ÂşC selama ±60 menit. Kemudian diekstraksi menggunakan pelarut n-heksana pada suhu 65ÂşC sebanyak 5 siklus. Selanjutnya larutan ekstrak dievaporasi pada suhu 40ÂşC dalam keadaan vakum. Pemurnian minyak dilakukan dengan cara degumming menggunakan H3PO0,8%, sedangkan pemisahan gum menggunakan sentrifuga 2500 rpm. Ekstraksi ini dilakukan menggunakan sokhlet dengan suhu operasi 65ÂşC. Untuk memisahkan minyak dari pelarutnya dilakukan evaporasi secara vakum pada suhu 40ÂşC.



Pemurnian dilakukan dengan menggunakan metode degumming. Metode ini bertujuan untuk menghilangkan pengotor seperti getah atau lendir yang terdiri dari fosfatida, protein, karbohidrat, dan air tetapi tidak menghilangkan asam lemak bebas (FFA) yang terdapat pada minyak biji alpukat (Mittlebach 2004). Sentrifugasi dilakukan untuk memisahkan antara getah (gum) dengan minyak.



Tahap berikutnya adalah penelitian utama, yaitu pembuatan metil ester (biodiesel) dari minyak biji alpukat melalui transesterifikasi pada suhu 60ÂşC selama 1 jam. Dalam percobaan ini kalsium metoksida direaksikan dengan minyak biji alpukat murni. Kalsium metoksida dibuat dengan cara mereaksikan antara metanol dengan kalsium oksida (CaO). Jumlah CaO yang digunakan adalah 2% dan 6%/b-minyak, sedangkan perbandingan mol antara minyak dengan metanol yang digunakan adalah 1:6.



Kelebihan penggunaan katalis heterogen dibandingkan dengan katalis homogennya ialah bahwa pemisahan katalis heterogen lebih mudah dan dapat digunakan kembali. Dalam penelitian ini hal tersebut di atas sudah tercapai dengan terbentuknya tiga fasa yaitu lapisan atas adalah biodiesel, tengah gliserol dan bawah CaO. Dengan demikian CaO dapat digunakan kembali (recovery CaO).



Hasil analisis sifat fisika dan kimia biodiesel menggunakan variasi konsentrasi katalis CaO (%-b) dapat diperoleh nilai angka asam dan %FFA, CaO 6% b-minyak memiliki nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan CaO 2% b-minyak. Sehingga pada penggunaan CaO 6% b-minyak menghasilkan biodiesel yang memiliki karakteristik mendekati SNI.



Penentuan sifat fisika dan kimia biodiesel tidak seluruhnya dilakukan sesuai dengan penentuan yang tertera pada Syarat Mutu Biodiesel. Yang diuji hanya sifat fisika dan kimia biodiesel yang mewakili (representatif) penggunaannya di mesin yaitu viskositas, massa jenis, pH, kadar air, %FFA, dan angka asam.



Biodiesel mengandung metil ester sebesar 48,02%. Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua minyak biji alpukat dapat dikonversi menjadi metil ester. Penyebab rendahnya jumlah metil ester masih adanya kandungan air dalam minyak saat transesterifikasi, sehingga pembentukan senyawa metoksida belum sempurna. Bila ditinjau dari komposisi asam lemak jenuh dan tak jenuhnya, biodiesel hasil penelitian mengandung 38,87% asam lemak tak jenuh dan 9,15% asam lemak jenuh. Hal ini sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa minyak nabati yang dapat diolah menjadi biodiesel harus memiliki kandungan asam lemak tak jenuh yang tinggi karena dapat mencegah terbentuknya padatan yang akan menghambat kinerja mesin. Berdasarkan hasil analisis fisika dan kimia menunjukkan bahwa minyak biji alpukat layak digunakan sebagai bahan baku pembuatan biodiesel, namun belum mencapai perolehan yang optimum.



Biodiesel dari minyak biji alpukat diperoleh dengan proses transesterifikasi. Penggunaan katalis heterogen kalsium oksida (CaO) dalam transesterifikasi tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap karakteristik biodiesel yang dihasilkan, sedangkan kelebihannya dapat digunakan kembali karena pemisahannya lebih mudah. Berdasarkan sifat kimia dan fisikanya minyak biji alpukat (Persea gratissima) dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan biodiesel.





Sumber :




Nama/ NIM : Amrina Rosyada/ 15/378267/PN/14073


Sumber:Google.com

Praktik budidaya tanaman yang pada masa kini nasih dominan digunakan adalah cara konvensional dimana petani masih menggunakan berbagai zat kimia yang berbahaya bagi lingkungan untuk melakukan kegiatan bududaya tanaman. Salah satu dari kegiatan pada budidaya tanaman adalah mengendalikan hama sert penyakit yang berpeluag besar menggagalkan hasil budidaya tanaman menjadi optimal. Pada umumnya petani masih mengandalkan pestisida untuk mengamankan hasil panennya dari berbagai serangan organisme pengganggu tanaman (OPT). penggunaan pestisida sendiri pada prakiknya masih terdapat berbagai permasalahan bagi beberapa aspek seperti kesehatan,ekonomi,social,serta lingkungan.

Permasalahan yang ditimbulkan dari penggunaan pestisida pada budidaya tanaman merupakan timbal balik yang timbul akibat berbagai yang dilakukan petani di lapangan. Praktik-praktik tersebut diantaranya adalah penyemprotan pestisida dengan volume sangat tinggi. Pencampuran larutan yang digunakan pestisida secara sembarangan serta frekuensi penyemprotan pestisida yang terlalu sering dan tidak menuruti jadwal penyemprotan yang dianjurkan. terlebih pada saat penyemprotan pestisida, petani tidak menggunakan alat pelindung diri (APD) yang standar. Hal tersebut hanya semakin memperburuk keadaan yang ditimbulkan dari penggunaan pestisida. Apabila permasalahan-permasalahan tersebut merupakan fakta, maka pertanian di Indonesia ini memiliki status darurat pestisida. Hasil yang diperoleh dari budidaya tanaman tersebut tidak aman untuk dikonsumsi, lingkungan hidup menjadi tercemari akibat residu pestidida yang berlebihan, serta kesehatan para petani pun juga menjadi tercemar terlebih tidak tersedia asuransi.

Berbagai permaslahan yang timbul akibat penggunaan pestisida secara semabarangan tentunya akan semakin pelik apabila tidak ditangani oleh pihak yang berwanang, dalam hal ini adalah pemerintah. Pemerintahan telah penerapan pengelolaan hama secara terpadu (PHT) untuk mengendalikan organisme penggangu tanaman. PHT juga dapat memperkecil dampak kerusakan tanaman serta menyelamatkan hasil bududaya tanaman. Pada prinsipnya, penerapan PHT tidaklah serupa dengan pertanian konvensional dalam perlindungan tanaman, namun secara praktiknyatidak jauh berbeda. Hal tersebut dapat dijelaskan dengan penggunaan pestisida itu sendiri. Apabila pada PHT penggunaan pestisida tetap digunakan untuk solusi yang terakhir dalam melakukan perlindunagn tanaman.

Penggunaan pestisida pada sebuah komoditas yang frekuensi yang tinggi tentu akan berdampak buruk bagi tanaman. Selain membuat tanaman menjadi memiliki kandungan residu pestisida yang tinggi penggunaan pestisida yang berlebihan juga membuat hama menjadi resisten sehingga dengan cara bagaimanapun akan sulit untuk menekan populasinya. Saya berpendapat bahwa penggunan pestisida masihlah krusial bagi kebijakan perlindungan tanaman, namun perlu dicatat bahwa masih tersedia opsi lain yang mungkin masih dapat diambil selain menggunakan pestisida untuk pertanian yang lebih sehat.







Daftar Pustaka

Soetikno, S dan Sastroutomo.1992 Pestisida dasar-dasar dan dampak penggunaannya. P.T. Gramedia Jakarta.







Rifqi Huli Fahmi

15/383455/PN/14286

Fitri Lusiana Kurniasari

(15/383530/PN/14361)



EKSTENSIFIKASI LAHAN KERING UNTUK MENDUKUNG PERWUJUDAN SWASEMBADA PANGAN



            Produksi pangan yang dihasilkan dari pertanian Indonesia belum dapat memenuhi kebutuhan pangan masyarakat Indonesia sendiri. Indonesia yang dikenal sebagai negara agraris dan maritime seharusnya dapat menghasilkan produksi yang optimal dibidang pertanian dan perikanan. Dengan lahan pertanian yang melimpah dan wilayah perairan yang luas, seharusnya Indonesia dapat menjadi negara mengekspor pangan yang hebat. Namun, faktanya untuk memenuhi kebutuhan pangan di wilayahnya sendiri, Indonesia masih mengandalkan impor produk dan bahan pangan dari negara lain. Kondisi pangan di Indonesia masih jauh untuk mencapai swasembada, bahkan untuk memenuhi kebutuhan ekspor.

            Meskipun demikian, menurut Prof. Dr. Dw idjono Hadi Darwanto (2016), beberapa wilayah di Indonesia, seperti Sulawesi selatan berhasil melaksanakan ekspor beras kurang lebih 1,5 juta ton per tahun. Hal tersebut dapat terjadi karena Sulawesi selatan dapat memanfaatkan bibit padi yang cocok untuk di tanam di wilayahnya dan dapat memanfaatkan lahan dengan efisien. Dari pernyataan tersebut, dapat diketahui bahwa Indonesia mempunyai kemampuan dengan sarana yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan, terutama di wilayah Indonesia itu sendiri.

            Salah satu penyebab utama produksi pangan yang belum optimal adalah pemanfaatan lahan yang kurang efektif. Selama ini, penggunaan lahan untuk komoditas padi dan palawija dilaksanakan secara bergantian. Hal ini tentu akan menekan jumlah produksi komoditas pangan tersebut. Apabila lahan yang digunakan untuk melaksanakan budidaya komoditas tersebut dapat dipisahkan, tentunya dapat meningkatkan jumlah produksi pangan yang dihasilkan. Ekstensifikasi pertanian merupakan salah satu solusi yang dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Ekstensifikasi pertanian adalah melakukan perluasan lahan pertanian dengan memanfaatkan lahan yang sebelumnya belum dimanfaatkan untuk usaha pertanian, misalnya dengan pembukaan lahan kering, lahan gambut, dan hutan.

            Pemanfaatan lahan kering untuk pertanian sering diabaikan oleh para pengambil kebijakan, yang lebih tertarik pada peningkatan produksi beras pada lahan sawah. Hal ini mungkin karena ada anggapan bahwa  meningkatkan produksi padi sawah lebih mudah dan lebih menjanjikan dibanding padi gogo yang memiliki risiko kegagalan lebih tinggi. Padahal lahan kering tersedia cukup luas dan berpotensi untuk menghasilkan padi gogo > 5 t/ha. Lahan kering yang potensial dapat menghasilkan bahan pangan yang cukup dan bervariasi, tidak hanya padi gogo tetapi juga bahan pangan lainnya, bila dikelola dengan menggunakan teknologi yang efektif dan strategi pengembangan yang tepat. Bahan pangan bukan hanya beras, t e t api   juga   j agung,   sorgum,  kede l a i , kacang hijau, ubi kayu, ubi jalar, dan sebagainya, yang kesemuanya dapat dibudidayakan di lahan kering (Abdurrahman, 2008)

.

            Lahan ke r ing me rupakan  salah  satu agroekosistem yang mempunyai potensi besar untuk usaha pertanian, baik tanaman pangan, hortikultura (sayuran dan buahbuahan) maupun tanaman tahunan dan peternakan. Berdasarkan Atlas Arahan Tata Ruang Pertanian Indonesia skala 1:1.000.000 (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat 2001), Indonesia memiliki daratan sekitar 188,20 juta ha, terdiri atas 148 juta ha lahan kering (78%) dan 40,20 juta ha lahan basah (22%). Tidak semua lahan kering sesuai untuk pertanian, terutama karena adanya faktor pembatas  tanah seperti lereng yang sangat curam atau solum tanah dangkal dan berbatu, atau termasuk kawasan hutan. Dari total luas 148 juta ha,  lahan kering yang sesuai untuk budi daya pertanian hanya sekitar 76,22 juta ha (52%), sebagian besar terdapat di dataran rendah (70,71 juta ha atau 93%) dan sisanya di dataran tinggi. Di wilayah dataran rendah, lahan datarbergelombang (lereng < 15%) yang sesuai untuk pertanian tanaman pangan mencakup 23,26 juta ha. Lahan dengan lereng 15−30% lebih sesuai untuk tanaman tahunan (47,45 juta ha). Di dataran tinggi, lahan yang sesuai  untuk tanaman pangan hanya sekitar 2,07 juta ha, dan untuk tanaman tahunan 3,44 juta ha (Abdurrachman, 2008).

            Ekstensifikasi pertanian dengan memanfaatkan lahan kering tentu akan menambah hasil produksi pangan yang dihasilkan. Hal tersebut dapat terjadi karena wilayah yang digunakan untuk penanaman komoditas pangan, seperti padi dan palawija (jagung, kedelai, kacang tanah, dan lain-lain) semakin luas. Pelaksanaan tersebut misalnya dapat dilaksanakan pemisahan lahan antara penanaman padi dan palawija, yaitu dengan menanam palawija pada lahan kering, sedangkan padi pada lahan basah yang umumnya digunakan untuk menanam padi.  Hal tersebut sesuai dengan ilmu yang dipelajari dalam budidaya pertanian, bahwa tanaman palawija merupakan tanaman yang cocok ditanam pada lahan dengan ketersediaan air kapasitas lapangan, bukan seperti padi yang membutuhkan air yang melimpah. Dalam pemanfaatan lahan kering dapat dilakukan berbagai teknik atau metode irigasi agar ketersediaan air dapat mencapai kapasitas lapangan. Misalnya dengan membuat bendungan khusus untuk dialirkan pada lahan tersebut, mengolah tanah dengan pemberian pupuk yang tepat, penyediaan mulsa organic untuk menjaga ketersediaan air dan menekan evaporasi.

            Menurut Abduachman (2008), pemanfaatan lahan kering dalam usaha pertanian juga mengalami berbagai kendala Permasalahan dalam pengelolaan lahan kering bervariasi pada setiap wilayah, baik aspek teknis maupun sosial-ekonomis. Namun, dengan strategi dan teknologi yang tepat, berbagai masalah tersebut dapat diatasi.

1.      Kesuburan tanah

Pada umumnya lahan kering memiliki tingkat kesuburan tanah yang rendah, terutama pada tanah-tanah yang tererosi, sehingga lapisan olah tanah menjadi tipis dan kadar bahan organik rendah. Kondisi ini makin diperburuk dengan terbatasnya penggunaan pupuk organik, terutama pada tanaman pangan semusim.  Di samping itu, secara alami kadar bahan organik tanah di daerah tropis cepat menurun, mencapai 30−60% dalam waktu 10 tahun (Brown dan  Lugo 1990 dalam Suriadikarta et al. 2002).

Bahan organic memiliki peran penting dalam memperbaiki sifat kimia, fisik, dan biologi tanah. Meskipun kontribusi unsur hara dari bahan organik tanah relative rendah, peranannya cukup penting karena selain unsur NPK, bahan organik juga merupakan sumber unsur esensial lain seperti C, Zn, Cu, Mo, Ca, Mg, dan Si (Suriadikarta et al. 2002).

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah adanya tanah masam, yang dicirikan oleh pH rendah (< 5,50), kadar Al tinggi, fiksasi P tinggi, kandungan basa-basa dapat tukar dan KTK rendah, kandungan besi dan mangan mendekati batas meracuni tanaman, peka erosi, dan miskin unsur biotik (Adiningsih dan Sudjadi 1993; Soepardi 2001).

Dari luas total lahan kering Indonesia sekitar 148 juta ha, 102,80 juta ha (69,46%) merupakan tanah masam (Mulyani  et al. 2004). Tanah tersebut didominasi oleh Inceptisols, Ultisols, dan Oxisols, dan sebagian besar terdapat di Sumatera, Kalimantan, dan Papua.

Lahan kering masam di wilayah berbukit dan bergunung cukup luas, mencapai 53,50 juta ha atau 52% dari total tanah masam di Indonesia. Tanah masam t e r s ebut  umumnya  kur ang pot ens i a l untuk pertanian tanaman pangan karena tingkat kesuburannya rendah, lereng

curam, dan solum dangkal.

2.      Topografi

Di Indonesia, lahan kering sebagian besar terdapat di wilayah bergunung (> 30%) dan berbukit (15−30%), dengan luas masing-masing 51,30 juta ha dan 36,90 juta ha (Hidayat dan Mulyani 2002). Lahan kering berlereng curam sangat peka terhadap erosi, terutama bila diusahakan untuk tanaman pangan semusim dan curah hujannya tinggi. Lahan semacam ini lebih sesuai untuk tanaman tahunan, namun kenyataannya banyak dimanfaatkan untuk tanaman pangan, sedangkan perkebunan banyak diusahakan pada lahan datar-bergelombang dengan lereng < 15%. Lahan kering yang telah dimanfaatkan untuk perkebunan mencakup 19,60 juta ha (Badan Pusat Statistik 2005), terutama untuk tanaman kelapa sawit, kelapa, dan karet.

3.      Ketersediaan air Pertanian

Keterbatasan air pada lahan kering mengakibatkan usaha tani tidak dapat dilakukan sepanjang tahun, dengan indeks pertanaman (IP) kurang dari 1,50. Penyebabnya antara lain adalah distribusi dan pola hujan yang fluktuatif, baik secara spasial maupun temporal. Wilayah barat lebih basah dibandingkan dengan wilayah timur, dan secara temporal terdapat perbedaan distribusi hujan pada musim hujan dan kemarau. Pada beberapa wilayah di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi, curah hujan melebihi 2.000 mm/tahun, sehingga IP dapat ditingkatkan menjadi  2−2,50 (Las et al. 2000; Amien et al. 2001).

4.      Kepemilikan Lahan

Tantangan yang lebih berat dan sukar diatasi adalah permasalahan sosial ekonomi,

antara lain pemilikan lahan oleh petani cenderung menyempit .  Data sensus pertanian tahun 1993 dan 2003, serta hasil penelitian Puslitbangtanak pada tahun 2002/2003 (Abdurachman  et al. 2005) menunjukkan luas lahan pertanian di Jawa cenderung menurun, sedangkan di luar Jawa sedikit meningkat. Di lain pihak, jumlah rumah tangga petani (RTP) meningkat secara signifikan dari 22,40 juta menjadi 27,40 juta dalam 10 tahun terakhir. Luas penguasaan lahan rata-rata nasional menurun dari 0,86 ha menjadi 0,73 ha per RTP. Sejalan dengan itu, jumlah petani gurem (luas lahan garapan < 0,50 ha) meningkat dari 10,80 juta RTP pada tahun 1993 menjadi 13,70 juta pada tahun 2003, atau rata-rata meningkat 2,40%/tahun. Bila luas lahan pertanian tidak bertambah secara signifikan seiring dengan laju pertambahan penduduk mak jumlah petani gurem akan makin bertambah dan peluang perambahan hutan meningkat.

5.      Penggunaan dan Ketersediaan Lahan

Menurut Badan Pusat Statistik (2005), lahan pertanian Indonesia meliputi 70,20  juta ha, sekitar 61,53 juta ha di antaranya berupa lahan kering (Tabel 2) dengan produktivitas relatif rendah, jauh di bawah potensi hasil. Produktivitas padi gogo berkisar antara 2−3 t/ha, padahal potensinya dapat mencapai 4−5 t/ha (Sumarno dan Hidayat 2007). Demikian juga komoditas

lain, seperti kedelai, masih dapat ditingkatkan. Menurut Subandi (2007), peluang peningkatan produktivitas kedelai masih terbuka, karena hasil di tingkat petani (0,60−2 t/ha) masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan hasil di tingkat penelitian, yang berkisar antara 1,70−3,20 t/ha. Selain meningkatkan produktivitas lahan kering yang sudah ada (existing), produksi bahan pangan dapat pula ditingkatkan melalui perluasan areal tanam pada lahan kering. Dari 76,22 juta ha lahan kering yang sesuai untuk pertanian (Tabel 1), lahan yang telah digunakan (tegalan,

perkebunan, kayu-kayuan, dan pekarang.

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN KERING

Menurut Abdurachman (2008), strategi yang dapat diterapkan untuk mengelola lahan kering agar dapat bermanfaat bagi lahan pertanian antara lain sebagai berikut :

1.      Identifikasi Lahan Yang Sesuai

Cara yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi lahan yang sesuai untuk pertanian, terutama lahan alang-alang dan semak belukar adalah dengan menggunak a n   peta pada penggunaan skala 1 : 250000   yang ditumpang tempatkan dengan peta arahan tata ruang pertanian. Dengan cara ini, diperoleh data tentang lahan kering cadangan seluas 22,39 juta ha, yang terdiri atas 7,08 juta ha sesuai untuk tanaman pangan semusim dan 15,31juta ha untuk tanaman tahunan. Untuk memperoleh data yang lebih tepat, harus digunakan peta tanah atau peta kesesuaian dan peta penggunaan lahan dengan skala yang lebih besar, misalnya 1:50.000 atau lebih baik lagi skala 1:25.000. Selain itu, data biofisik lahan perlu ditunjang dengan informasi sosialekonomi, terutama status kepemilikan lahan, sehingga pengembangan pertanian tidak terbentur pada permasalahan nonteknis, yang dapat menggagalkan pendayaguna an  lahan ke r ing yang  telah direncanakan.

2.      Seleksi Teknologi Tepat Guna

Teknologi pengelolaan lahan kering untuk pertanian tanaman pangan telah tersedia, baik teknologi konservasi tanah, peningka t an ke subur an  t anah,  penge lol a an bahan organik tanah, dan  pengelolaan air. Dari sekumpulan teknologi tersebut, perlu di s e l eks i   t eknologi  yang  t epa t  guna , sesuai dengan kondisi lahan (tanah, air, dan iklim) dan petani. Oleh karena itu, perlu diketahui terlebih dulu karakteristik lahan dan kondisi petani agar teknologi yang terpilih betul-betul efektif dan dapat diadopsi petani. Karakteristik lahan dapat diketahui melalui pemetaan skala detail (1:50.000 atau 1:25.000), atau lebih detail, skala 1:10.000 atau 1:5.000. Dengan menggunakan peta dengan skala sangat detail, pemilihan komoditas dan teknologi dapat dilakukan dengan lebih tepat. Aspek sosial-ekonomi petani dapat diketahui dengan melaksanakan survei lapangan, misalnya dengan menggunakan metode Participatory Rural Appraisal (PRA).

3.      Diseminasi Teknologi

Diseminasi dan adopsi teknologi pada umumnya berjalan lambat, termasuk teknologi pengelolaan lahan (tanah, air, dan iklim). Teknologi tersebut disebarkan melalui seminar, simposium, jurnal, serta media cetak dan elektronik. Namun akses penyuluh apalagi petani ke media tersebut relatif terbatas, sehingga cara dan media penyampaian tersebut kurang efektif. Oleh karena itu, diperlukan metode diseminasi secara langsung kepada petani, yang lebih mendekatkan sumber teknologi dengan petani sebagai calon pengguna teknologi. Salah satu terobosan dalam diseminasi teknologi pertanian adalah melalui Prima Tani (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian 2006), yang bertujuan untuk mempe r c epa t  di s emina s i  dan  adops I teknologi inovatif, terutama yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian. Melalui program ini, pertanian lahan kering, termasuk pengembangan budi daya padi gogo, palawija dan sebagainya, misalnya dengan introduksi benih unggul, pemupukan, dan rotasi tanaman, dapat

be rkembang  l ebih  c epa t  dan mampu meningkatkan produksi bahan pangan nasional secara signifikan.

4.      Peningkatan Penelitian Pertanian Lahan Kering

Penelitian padi saat ini lebih terfokus pada padi sawah, yang telah menghasilkan

berbagai varietas unggul dan teknologi budi daya seperti pengendalian hama/ penyakit, pemupukan, dan pengairan. Penelitian dan pengembangan padi gogo jauh tertinggal.  Sejalan dengan itu, minat dan upaya petani untuk mengembangkan padi gogo juga relatif rendah, tercermin dari luas pertanaman setiap tahun yang jauh lebih rendah dari luas lahan sawah.

Ke depan, penelitian dan pengembangan pe r t ani an  l ahan ke r ing pe r lu mendapat perhatian yang lebih besar, termasuk pembiayaannya. Akan lebih baik bila penelitian diarahkan pada teknologi penge lol a an padi  gogo dan pa l awi j a sebagai bagian dari sistem usaha tani

(farming system) yang disesuaikan  dengan  kondisi spesifik lokasi. Penelitian hendaknya dilaksanakan secara komprehensif, dalam arti peneliti tidak bekerja sendiri-sendiri, tetapi dalam suatu tim dari berbagai disiplin ilmu, sehingga dapat menghasilkan teknologi yang efektif dan menguntungkan.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurachman, A., Dariah, A., dan Mulyani, A. 2008. Strategi dan teknologi pengelolaan lahan kering mendukung pengadaan pangan nasional. Jurnal Litbang Pertanian 27 (2) : 43-49.