EKSTENSIFIKASI LAHAN KERING UNTUK MENDUKUNG PERWUJUDAN SWASEMBADA PANGAN

by 09.59 1 komentar

Fitri Lusiana Kurniasari

(15/383530/PN/14361)



EKSTENSIFIKASI LAHAN KERING UNTUK MENDUKUNG PERWUJUDAN SWASEMBADA PANGAN



            Produksi pangan yang dihasilkan dari pertanian Indonesia belum dapat memenuhi kebutuhan pangan masyarakat Indonesia sendiri. Indonesia yang dikenal sebagai negara agraris dan maritime seharusnya dapat menghasilkan produksi yang optimal dibidang pertanian dan perikanan. Dengan lahan pertanian yang melimpah dan wilayah perairan yang luas, seharusnya Indonesia dapat menjadi negara mengekspor pangan yang hebat. Namun, faktanya untuk memenuhi kebutuhan pangan di wilayahnya sendiri, Indonesia masih mengandalkan impor produk dan bahan pangan dari negara lain. Kondisi pangan di Indonesia masih jauh untuk mencapai swasembada, bahkan untuk memenuhi kebutuhan ekspor.

            Meskipun demikian, menurut Prof. Dr. Dw idjono Hadi Darwanto (2016), beberapa wilayah di Indonesia, seperti Sulawesi selatan berhasil melaksanakan ekspor beras kurang lebih 1,5 juta ton per tahun. Hal tersebut dapat terjadi karena Sulawesi selatan dapat memanfaatkan bibit padi yang cocok untuk di tanam di wilayahnya dan dapat memanfaatkan lahan dengan efisien. Dari pernyataan tersebut, dapat diketahui bahwa Indonesia mempunyai kemampuan dengan sarana yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan, terutama di wilayah Indonesia itu sendiri.

            Salah satu penyebab utama produksi pangan yang belum optimal adalah pemanfaatan lahan yang kurang efektif. Selama ini, penggunaan lahan untuk komoditas padi dan palawija dilaksanakan secara bergantian. Hal ini tentu akan menekan jumlah produksi komoditas pangan tersebut. Apabila lahan yang digunakan untuk melaksanakan budidaya komoditas tersebut dapat dipisahkan, tentunya dapat meningkatkan jumlah produksi pangan yang dihasilkan. Ekstensifikasi pertanian merupakan salah satu solusi yang dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Ekstensifikasi pertanian adalah melakukan perluasan lahan pertanian dengan memanfaatkan lahan yang sebelumnya belum dimanfaatkan untuk usaha pertanian, misalnya dengan pembukaan lahan kering, lahan gambut, dan hutan.

            Pemanfaatan lahan kering untuk pertanian sering diabaikan oleh para pengambil kebijakan, yang lebih tertarik pada peningkatan produksi beras pada lahan sawah. Hal ini mungkin karena ada anggapan bahwa  meningkatkan produksi padi sawah lebih mudah dan lebih menjanjikan dibanding padi gogo yang memiliki risiko kegagalan lebih tinggi. Padahal lahan kering tersedia cukup luas dan berpotensi untuk menghasilkan padi gogo > 5 t/ha. Lahan kering yang potensial dapat menghasilkan bahan pangan yang cukup dan bervariasi, tidak hanya padi gogo tetapi juga bahan pangan lainnya, bila dikelola dengan menggunakan teknologi yang efektif dan strategi pengembangan yang tepat. Bahan pangan bukan hanya beras, t e t api   juga   j agung,   sorgum,  kede l a i , kacang hijau, ubi kayu, ubi jalar, dan sebagainya, yang kesemuanya dapat dibudidayakan di lahan kering (Abdurrahman, 2008)

.

            Lahan ke r ing me rupakan  salah  satu agroekosistem yang mempunyai potensi besar untuk usaha pertanian, baik tanaman pangan, hortikultura (sayuran dan buahbuahan) maupun tanaman tahunan dan peternakan. Berdasarkan Atlas Arahan Tata Ruang Pertanian Indonesia skala 1:1.000.000 (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat 2001), Indonesia memiliki daratan sekitar 188,20 juta ha, terdiri atas 148 juta ha lahan kering (78%) dan 40,20 juta ha lahan basah (22%). Tidak semua lahan kering sesuai untuk pertanian, terutama karena adanya faktor pembatas  tanah seperti lereng yang sangat curam atau solum tanah dangkal dan berbatu, atau termasuk kawasan hutan. Dari total luas 148 juta ha,  lahan kering yang sesuai untuk budi daya pertanian hanya sekitar 76,22 juta ha (52%), sebagian besar terdapat di dataran rendah (70,71 juta ha atau 93%) dan sisanya di dataran tinggi. Di wilayah dataran rendah, lahan datarbergelombang (lereng < 15%) yang sesuai untuk pertanian tanaman pangan mencakup 23,26 juta ha. Lahan dengan lereng 15−30% lebih sesuai untuk tanaman tahunan (47,45 juta ha). Di dataran tinggi, lahan yang sesuai  untuk tanaman pangan hanya sekitar 2,07 juta ha, dan untuk tanaman tahunan 3,44 juta ha (Abdurrachman, 2008).

            Ekstensifikasi pertanian dengan memanfaatkan lahan kering tentu akan menambah hasil produksi pangan yang dihasilkan. Hal tersebut dapat terjadi karena wilayah yang digunakan untuk penanaman komoditas pangan, seperti padi dan palawija (jagung, kedelai, kacang tanah, dan lain-lain) semakin luas. Pelaksanaan tersebut misalnya dapat dilaksanakan pemisahan lahan antara penanaman padi dan palawija, yaitu dengan menanam palawija pada lahan kering, sedangkan padi pada lahan basah yang umumnya digunakan untuk menanam padi.  Hal tersebut sesuai dengan ilmu yang dipelajari dalam budidaya pertanian, bahwa tanaman palawija merupakan tanaman yang cocok ditanam pada lahan dengan ketersediaan air kapasitas lapangan, bukan seperti padi yang membutuhkan air yang melimpah. Dalam pemanfaatan lahan kering dapat dilakukan berbagai teknik atau metode irigasi agar ketersediaan air dapat mencapai kapasitas lapangan. Misalnya dengan membuat bendungan khusus untuk dialirkan pada lahan tersebut, mengolah tanah dengan pemberian pupuk yang tepat, penyediaan mulsa organic untuk menjaga ketersediaan air dan menekan evaporasi.

            Menurut Abduachman (2008), pemanfaatan lahan kering dalam usaha pertanian juga mengalami berbagai kendala Permasalahan dalam pengelolaan lahan kering bervariasi pada setiap wilayah, baik aspek teknis maupun sosial-ekonomis. Namun, dengan strategi dan teknologi yang tepat, berbagai masalah tersebut dapat diatasi.

1.      Kesuburan tanah

Pada umumnya lahan kering memiliki tingkat kesuburan tanah yang rendah, terutama pada tanah-tanah yang tererosi, sehingga lapisan olah tanah menjadi tipis dan kadar bahan organik rendah. Kondisi ini makin diperburuk dengan terbatasnya penggunaan pupuk organik, terutama pada tanaman pangan semusim.  Di samping itu, secara alami kadar bahan organik tanah di daerah tropis cepat menurun, mencapai 30−60% dalam waktu 10 tahun (Brown dan  Lugo 1990 dalam Suriadikarta et al. 2002).

Bahan organic memiliki peran penting dalam memperbaiki sifat kimia, fisik, dan biologi tanah. Meskipun kontribusi unsur hara dari bahan organik tanah relative rendah, peranannya cukup penting karena selain unsur NPK, bahan organik juga merupakan sumber unsur esensial lain seperti C, Zn, Cu, Mo, Ca, Mg, dan Si (Suriadikarta et al. 2002).

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah adanya tanah masam, yang dicirikan oleh pH rendah (< 5,50), kadar Al tinggi, fiksasi P tinggi, kandungan basa-basa dapat tukar dan KTK rendah, kandungan besi dan mangan mendekati batas meracuni tanaman, peka erosi, dan miskin unsur biotik (Adiningsih dan Sudjadi 1993; Soepardi 2001).

Dari luas total lahan kering Indonesia sekitar 148 juta ha, 102,80 juta ha (69,46%) merupakan tanah masam (Mulyani  et al. 2004). Tanah tersebut didominasi oleh Inceptisols, Ultisols, dan Oxisols, dan sebagian besar terdapat di Sumatera, Kalimantan, dan Papua.

Lahan kering masam di wilayah berbukit dan bergunung cukup luas, mencapai 53,50 juta ha atau 52% dari total tanah masam di Indonesia. Tanah masam t e r s ebut  umumnya  kur ang pot ens i a l untuk pertanian tanaman pangan karena tingkat kesuburannya rendah, lereng

curam, dan solum dangkal.

2.      Topografi

Di Indonesia, lahan kering sebagian besar terdapat di wilayah bergunung (> 30%) dan berbukit (15−30%), dengan luas masing-masing 51,30 juta ha dan 36,90 juta ha (Hidayat dan Mulyani 2002). Lahan kering berlereng curam sangat peka terhadap erosi, terutama bila diusahakan untuk tanaman pangan semusim dan curah hujannya tinggi. Lahan semacam ini lebih sesuai untuk tanaman tahunan, namun kenyataannya banyak dimanfaatkan untuk tanaman pangan, sedangkan perkebunan banyak diusahakan pada lahan datar-bergelombang dengan lereng < 15%. Lahan kering yang telah dimanfaatkan untuk perkebunan mencakup 19,60 juta ha (Badan Pusat Statistik 2005), terutama untuk tanaman kelapa sawit, kelapa, dan karet.

3.      Ketersediaan air Pertanian

Keterbatasan air pada lahan kering mengakibatkan usaha tani tidak dapat dilakukan sepanjang tahun, dengan indeks pertanaman (IP) kurang dari 1,50. Penyebabnya antara lain adalah distribusi dan pola hujan yang fluktuatif, baik secara spasial maupun temporal. Wilayah barat lebih basah dibandingkan dengan wilayah timur, dan secara temporal terdapat perbedaan distribusi hujan pada musim hujan dan kemarau. Pada beberapa wilayah di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi, curah hujan melebihi 2.000 mm/tahun, sehingga IP dapat ditingkatkan menjadi  2−2,50 (Las et al. 2000; Amien et al. 2001).

4.      Kepemilikan Lahan

Tantangan yang lebih berat dan sukar diatasi adalah permasalahan sosial ekonomi,

antara lain pemilikan lahan oleh petani cenderung menyempit .  Data sensus pertanian tahun 1993 dan 2003, serta hasil penelitian Puslitbangtanak pada tahun 2002/2003 (Abdurachman  et al. 2005) menunjukkan luas lahan pertanian di Jawa cenderung menurun, sedangkan di luar Jawa sedikit meningkat. Di lain pihak, jumlah rumah tangga petani (RTP) meningkat secara signifikan dari 22,40 juta menjadi 27,40 juta dalam 10 tahun terakhir. Luas penguasaan lahan rata-rata nasional menurun dari 0,86 ha menjadi 0,73 ha per RTP. Sejalan dengan itu, jumlah petani gurem (luas lahan garapan < 0,50 ha) meningkat dari 10,80 juta RTP pada tahun 1993 menjadi 13,70 juta pada tahun 2003, atau rata-rata meningkat 2,40%/tahun. Bila luas lahan pertanian tidak bertambah secara signifikan seiring dengan laju pertambahan penduduk mak jumlah petani gurem akan makin bertambah dan peluang perambahan hutan meningkat.

5.      Penggunaan dan Ketersediaan Lahan

Menurut Badan Pusat Statistik (2005), lahan pertanian Indonesia meliputi 70,20  juta ha, sekitar 61,53 juta ha di antaranya berupa lahan kering (Tabel 2) dengan produktivitas relatif rendah, jauh di bawah potensi hasil. Produktivitas padi gogo berkisar antara 2−3 t/ha, padahal potensinya dapat mencapai 4−5 t/ha (Sumarno dan Hidayat 2007). Demikian juga komoditas

lain, seperti kedelai, masih dapat ditingkatkan. Menurut Subandi (2007), peluang peningkatan produktivitas kedelai masih terbuka, karena hasil di tingkat petani (0,60−2 t/ha) masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan hasil di tingkat penelitian, yang berkisar antara 1,70−3,20 t/ha. Selain meningkatkan produktivitas lahan kering yang sudah ada (existing), produksi bahan pangan dapat pula ditingkatkan melalui perluasan areal tanam pada lahan kering. Dari 76,22 juta ha lahan kering yang sesuai untuk pertanian (Tabel 1), lahan yang telah digunakan (tegalan,

perkebunan, kayu-kayuan, dan pekarang.

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN KERING

Menurut Abdurachman (2008), strategi yang dapat diterapkan untuk mengelola lahan kering agar dapat bermanfaat bagi lahan pertanian antara lain sebagai berikut :

1.      Identifikasi Lahan Yang Sesuai

Cara yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi lahan yang sesuai untuk pertanian, terutama lahan alang-alang dan semak belukar adalah dengan menggunak a n   peta pada penggunaan skala 1 : 250000   yang ditumpang tempatkan dengan peta arahan tata ruang pertanian. Dengan cara ini, diperoleh data tentang lahan kering cadangan seluas 22,39 juta ha, yang terdiri atas 7,08 juta ha sesuai untuk tanaman pangan semusim dan 15,31juta ha untuk tanaman tahunan. Untuk memperoleh data yang lebih tepat, harus digunakan peta tanah atau peta kesesuaian dan peta penggunaan lahan dengan skala yang lebih besar, misalnya 1:50.000 atau lebih baik lagi skala 1:25.000. Selain itu, data biofisik lahan perlu ditunjang dengan informasi sosialekonomi, terutama status kepemilikan lahan, sehingga pengembangan pertanian tidak terbentur pada permasalahan nonteknis, yang dapat menggagalkan pendayaguna an  lahan ke r ing yang  telah direncanakan.

2.      Seleksi Teknologi Tepat Guna

Teknologi pengelolaan lahan kering untuk pertanian tanaman pangan telah tersedia, baik teknologi konservasi tanah, peningka t an ke subur an  t anah,  penge lol a an bahan organik tanah, dan  pengelolaan air. Dari sekumpulan teknologi tersebut, perlu di s e l eks i   t eknologi  yang  t epa t  guna , sesuai dengan kondisi lahan (tanah, air, dan iklim) dan petani. Oleh karena itu, perlu diketahui terlebih dulu karakteristik lahan dan kondisi petani agar teknologi yang terpilih betul-betul efektif dan dapat diadopsi petani. Karakteristik lahan dapat diketahui melalui pemetaan skala detail (1:50.000 atau 1:25.000), atau lebih detail, skala 1:10.000 atau 1:5.000. Dengan menggunakan peta dengan skala sangat detail, pemilihan komoditas dan teknologi dapat dilakukan dengan lebih tepat. Aspek sosial-ekonomi petani dapat diketahui dengan melaksanakan survei lapangan, misalnya dengan menggunakan metode Participatory Rural Appraisal (PRA).

3.      Diseminasi Teknologi

Diseminasi dan adopsi teknologi pada umumnya berjalan lambat, termasuk teknologi pengelolaan lahan (tanah, air, dan iklim). Teknologi tersebut disebarkan melalui seminar, simposium, jurnal, serta media cetak dan elektronik. Namun akses penyuluh apalagi petani ke media tersebut relatif terbatas, sehingga cara dan media penyampaian tersebut kurang efektif. Oleh karena itu, diperlukan metode diseminasi secara langsung kepada petani, yang lebih mendekatkan sumber teknologi dengan petani sebagai calon pengguna teknologi. Salah satu terobosan dalam diseminasi teknologi pertanian adalah melalui Prima Tani (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian 2006), yang bertujuan untuk mempe r c epa t  di s emina s i  dan  adops I teknologi inovatif, terutama yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian. Melalui program ini, pertanian lahan kering, termasuk pengembangan budi daya padi gogo, palawija dan sebagainya, misalnya dengan introduksi benih unggul, pemupukan, dan rotasi tanaman, dapat

be rkembang  l ebih  c epa t  dan mampu meningkatkan produksi bahan pangan nasional secara signifikan.

4.      Peningkatan Penelitian Pertanian Lahan Kering

Penelitian padi saat ini lebih terfokus pada padi sawah, yang telah menghasilkan

berbagai varietas unggul dan teknologi budi daya seperti pengendalian hama/ penyakit, pemupukan, dan pengairan. Penelitian dan pengembangan padi gogo jauh tertinggal.  Sejalan dengan itu, minat dan upaya petani untuk mengembangkan padi gogo juga relatif rendah, tercermin dari luas pertanaman setiap tahun yang jauh lebih rendah dari luas lahan sawah.

Ke depan, penelitian dan pengembangan pe r t ani an  l ahan ke r ing pe r lu mendapat perhatian yang lebih besar, termasuk pembiayaannya. Akan lebih baik bila penelitian diarahkan pada teknologi penge lol a an padi  gogo dan pa l awi j a sebagai bagian dari sistem usaha tani

(farming system) yang disesuaikan  dengan  kondisi spesifik lokasi. Penelitian hendaknya dilaksanakan secara komprehensif, dalam arti peneliti tidak bekerja sendiri-sendiri, tetapi dalam suatu tim dari berbagai disiplin ilmu, sehingga dapat menghasilkan teknologi yang efektif dan menguntungkan.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurachman, A., Dariah, A., dan Mulyani, A. 2008. Strategi dan teknologi pengelolaan lahan kering mendukung pengadaan pangan nasional. Jurnal Litbang Pertanian 27 (2) : 43-49.

Unknown

Developer

Cras justo odio, dapibus ac facilisis in, egestas eget quam. Curabitur blandit tempus porttitor. Vivamus sagittis lacus vel augue laoreet rutrum faucibus dolor auctor.

1 komentar:

  1. Nilai Penyuluhan

    Sumber Teknologi / ide : Abdurachman, A., Dariah, A., dan Mulyani, A. 2008. Strategi dan teknologi pengelolaan lahan kering mendukung pengadaan pangan nasional. Jurnal Litbang Pertanian 27 (2) : 43-49.
    Sasaran : Petani, pembuat kebijakan, peneliti, dosen dan mahasiswa yang berkecimpung di bidang pertanian.

    Manfaat : Manfaat yang dapat diambil setelah membaca artikel ini kita menjadi tahu karakteristik lahan kering dan aspek apa saja yang perlu diperhatikan dalam mengelola lahan kering dan strategi untuk mengati kendala-kendala pada lahan kering.

    Nilai Pendidikan : Artikel ini memberikan ilmu dan inspirasi bahwa ekstensifikasi lahan bisa dilakukan di lahan kering. Memanfaatkan lahan kering untuk sektor pertanian dapat mendongkrak produksi pangan nasional karena lahan kering masih belum dimanfaatkan secara optimal. Selain itu pada artikel ini dijelaskan hal-hal mengenai lahan kering di Indonesia seperti kesuburan, topografi, ketersediaan air, kepemilikan lahan, serta penggunanaan dan ketersediaan lahan.


    Nilai Berita yang Terkandung dalam Artikel

    Proximity : Artikel tersebut bersifat dekat dengan petani karena yang dibahas adalah seputar pertanian.
    Importance : Tulisan tersebut mengandung info yang dibutuhkan petani yaitu bagaimana memanfaatkan lahan kering dengan baik.
    Policy : Kebijakan pemerintah dalam memutuskan ekstensifikasi lahan kering berkaitan dengan kepentingan petani.
    Conflict : Permasalahan yang diangkat pada artikel ini adalah pemanfaatan lahan kering masih sering diabaiakan oleh pengambil kebijakan. Mereka lebih tertarik pada lahan basah. Padahal lahan basah jumlahnya terbatas, selain itu juga lahan kering memiliki potensi besar untuk dimanfaatkan.
    Consequence : Konsequensi yang didapat jika lahan kering dimanfaatkan untuk pertanian menurut penulis artikel dapat membantu produksi beras nasional. Sehingga Indonesia mempunyai potensi untuk swasembada pangan.

    Zulfia Hafsah Firdiyani
    15/383523/PN/14354

    BalasHapus