Fitri
Lusiana Kurniasari
(15/383530/PN/14361)
EKSTENSIFIKASI
LAHAN KERING UNTUK MENDUKUNG PERWUJUDAN SWASEMBADA PANGAN
Produksi pangan yang dihasilkan dari pertanian Indonesia
belum dapat memenuhi kebutuhan pangan masyarakat Indonesia sendiri. Indonesia
yang dikenal sebagai negara agraris dan maritime seharusnya dapat menghasilkan
produksi yang optimal dibidang pertanian dan perikanan. Dengan lahan pertanian
yang melimpah dan wilayah perairan yang luas, seharusnya Indonesia dapat
menjadi negara mengekspor pangan yang hebat. Namun, faktanya untuk memenuhi
kebutuhan pangan di wilayahnya sendiri, Indonesia masih mengandalkan impor
produk dan bahan pangan dari negara lain. Kondisi pangan di Indonesia masih
jauh untuk mencapai swasembada, bahkan untuk memenuhi kebutuhan ekspor.
Meskipun demikian, menurut Prof. Dr. Dw idjono Hadi
Darwanto (2016), beberapa wilayah di Indonesia, seperti Sulawesi selatan
berhasil melaksanakan ekspor beras kurang lebih 1,5 juta ton per tahun. Hal
tersebut dapat terjadi karena Sulawesi selatan dapat memanfaatkan bibit padi
yang cocok untuk di tanam di wilayahnya dan dapat memanfaatkan lahan dengan
efisien. Dari pernyataan tersebut, dapat diketahui bahwa Indonesia mempunyai
kemampuan dengan sarana yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan, terutama di
wilayah Indonesia itu sendiri.
Salah satu penyebab utama produksi pangan yang belum
optimal adalah pemanfaatan lahan yang kurang efektif. Selama ini, penggunaan
lahan untuk komoditas padi dan palawija dilaksanakan secara bergantian. Hal ini
tentu akan menekan jumlah produksi komoditas pangan tersebut. Apabila lahan
yang digunakan untuk melaksanakan budidaya komoditas tersebut dapat dipisahkan,
tentunya dapat meningkatkan jumlah produksi pangan yang dihasilkan. Ekstensifikasi
pertanian merupakan salah satu solusi yang dapat digunakan untuk menyelesaikan
permasalahan tersebut. Ekstensifikasi pertanian adalah melakukan perluasan
lahan pertanian dengan memanfaatkan lahan yang sebelumnya belum dimanfaatkan
untuk usaha pertanian, misalnya dengan pembukaan lahan kering, lahan gambut,
dan hutan.
Pemanfaatan lahan kering untuk pertanian sering diabaikan
oleh para pengambil kebijakan, yang lebih tertarik pada peningkatan produksi
beras pada lahan sawah. Hal ini mungkin karena ada anggapan bahwa meningkatkan produksi padi sawah lebih mudah
dan lebih menjanjikan dibanding padi gogo yang memiliki risiko kegagalan lebih
tinggi. Padahal lahan kering tersedia cukup luas dan berpotensi untuk menghasilkan
padi gogo > 5 t/ha. Lahan kering yang potensial dapat menghasilkan bahan
pangan yang cukup dan bervariasi, tidak hanya padi gogo tetapi juga bahan
pangan lainnya, bila dikelola dengan menggunakan teknologi yang efektif dan
strategi pengembangan yang tepat. Bahan pangan bukan hanya beras, t e t
api juga j agung,
sorgum, kede l a i , kacang
hijau, ubi kayu, ubi jalar, dan sebagainya, yang kesemuanya dapat dibudidayakan
di lahan kering (Abdurrahman, 2008)
.
Lahan ke r ing me rupakan
salah satu agroekosistem yang
mempunyai potensi besar untuk usaha pertanian, baik tanaman pangan,
hortikultura (sayuran dan buahbuahan) maupun tanaman tahunan dan peternakan.
Berdasarkan Atlas Arahan Tata Ruang Pertanian Indonesia skala 1:1.000.000
(Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat 2001), Indonesia
memiliki daratan sekitar 188,20 juta ha, terdiri atas 148 juta ha lahan kering
(78%) dan 40,20 juta ha lahan basah (22%). Tidak semua lahan kering sesuai
untuk pertanian, terutama karena adanya faktor pembatas tanah seperti lereng yang sangat curam atau
solum tanah dangkal dan berbatu, atau termasuk kawasan hutan. Dari total luas
148 juta ha, lahan kering yang sesuai
untuk budi daya pertanian hanya sekitar 76,22 juta ha (52%), sebagian besar
terdapat di dataran rendah (70,71 juta ha atau 93%) dan sisanya di dataran
tinggi. Di wilayah dataran rendah, lahan datarbergelombang (lereng < 15%)
yang sesuai untuk pertanian tanaman pangan mencakup 23,26 juta ha. Lahan dengan
lereng 15−30% lebih sesuai untuk tanaman tahunan (47,45 juta ha). Di dataran tinggi,
lahan yang sesuai untuk tanaman pangan
hanya sekitar 2,07 juta ha, dan untuk tanaman tahunan 3,44 juta ha (Abdurrachman,
2008).
Ekstensifikasi pertanian dengan memanfaatkan lahan kering
tentu akan menambah hasil produksi pangan yang dihasilkan. Hal tersebut dapat
terjadi karena wilayah yang digunakan untuk penanaman komoditas pangan, seperti
padi dan palawija (jagung, kedelai, kacang tanah, dan lain-lain) semakin luas.
Pelaksanaan tersebut misalnya dapat dilaksanakan pemisahan lahan antara penanaman
padi dan palawija, yaitu dengan menanam palawija pada lahan kering, sedangkan
padi pada lahan basah yang umumnya digunakan untuk menanam padi. Hal tersebut sesuai dengan ilmu yang
dipelajari dalam budidaya pertanian, bahwa tanaman palawija merupakan tanaman
yang cocok ditanam pada lahan dengan ketersediaan air kapasitas lapangan, bukan
seperti padi yang membutuhkan air yang melimpah. Dalam pemanfaatan lahan kering
dapat dilakukan berbagai teknik atau metode irigasi agar ketersediaan air dapat
mencapai kapasitas lapangan. Misalnya dengan membuat bendungan khusus untuk
dialirkan pada lahan tersebut, mengolah tanah dengan pemberian pupuk yang
tepat, penyediaan mulsa organic untuk menjaga ketersediaan air dan menekan
evaporasi.
Menurut Abduachman (2008), pemanfaatan lahan kering dalam
usaha pertanian juga mengalami berbagai kendala Permasalahan dalam pengelolaan
lahan kering bervariasi pada setiap wilayah, baik aspek teknis maupun
sosial-ekonomis. Namun, dengan strategi dan teknologi yang tepat, berbagai masalah
tersebut dapat diatasi.
1.
Kesuburan tanah
Pada
umumnya lahan kering memiliki tingkat kesuburan tanah yang rendah, terutama
pada tanah-tanah yang tererosi, sehingga lapisan olah tanah menjadi tipis dan
kadar bahan organik rendah. Kondisi ini makin diperburuk dengan terbatasnya
penggunaan pupuk organik, terutama pada tanaman pangan semusim. Di samping itu, secara alami kadar bahan
organik tanah di daerah tropis cepat menurun, mencapai 30−60% dalam waktu 10
tahun (Brown dan Lugo 1990 dalam
Suriadikarta et al. 2002).
Bahan
organic memiliki peran penting dalam memperbaiki sifat kimia, fisik, dan
biologi tanah. Meskipun kontribusi unsur hara dari bahan organik tanah relative
rendah, peranannya cukup penting karena selain unsur NPK, bahan organik juga
merupakan sumber unsur esensial lain seperti C, Zn, Cu, Mo, Ca, Mg, dan Si
(Suriadikarta et al. 2002).
Hal
lain yang perlu diperhatikan adalah adanya tanah masam, yang dicirikan oleh pH
rendah (< 5,50), kadar Al tinggi, fiksasi P tinggi, kandungan basa-basa dapat
tukar dan KTK rendah, kandungan besi dan mangan mendekati batas meracuni
tanaman, peka erosi, dan miskin unsur biotik (Adiningsih dan Sudjadi 1993;
Soepardi 2001).
Dari
luas total lahan kering Indonesia sekitar 148 juta ha, 102,80 juta ha (69,46%)
merupakan tanah masam (Mulyani et al.
2004). Tanah tersebut didominasi oleh Inceptisols, Ultisols, dan Oxisols, dan
sebagian besar terdapat di Sumatera, Kalimantan, dan Papua.
Lahan
kering masam di wilayah berbukit dan bergunung cukup luas, mencapai 53,50 juta
ha atau 52% dari total tanah masam di Indonesia. Tanah masam t e r s ebut umumnya
kur ang pot ens i a l untuk pertanian tanaman pangan karena tingkat
kesuburannya rendah, lereng
curam,
dan solum dangkal.
2.
Topografi
Di
Indonesia, lahan kering sebagian besar terdapat di wilayah bergunung (> 30%)
dan berbukit (15−30%), dengan luas masing-masing 51,30 juta ha dan 36,90 juta
ha (Hidayat dan Mulyani 2002). Lahan kering berlereng curam sangat peka terhadap
erosi, terutama bila diusahakan untuk tanaman pangan semusim dan curah hujannya
tinggi. Lahan semacam ini lebih sesuai untuk tanaman tahunan, namun
kenyataannya banyak dimanfaatkan untuk tanaman pangan, sedangkan perkebunan
banyak diusahakan pada lahan datar-bergelombang dengan lereng < 15%. Lahan
kering yang telah dimanfaatkan untuk perkebunan mencakup 19,60 juta ha (Badan
Pusat Statistik 2005), terutama untuk tanaman kelapa sawit, kelapa, dan karet.
3.
Ketersediaan air Pertanian
Keterbatasan
air pada lahan kering mengakibatkan usaha tani tidak dapat dilakukan sepanjang
tahun, dengan indeks pertanaman (IP) kurang dari 1,50. Penyebabnya antara lain
adalah distribusi dan pola hujan yang fluktuatif, baik secara spasial maupun
temporal. Wilayah barat lebih basah dibandingkan dengan wilayah timur, dan
secara temporal terdapat perbedaan distribusi hujan pada musim hujan dan
kemarau. Pada beberapa wilayah di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi, curah
hujan melebihi 2.000 mm/tahun, sehingga IP dapat ditingkatkan menjadi 2−2,50 (Las et al. 2000; Amien et al. 2001).
4.
Kepemilikan Lahan
Tantangan
yang lebih berat dan sukar diatasi adalah permasalahan sosial ekonomi,
antara
lain pemilikan lahan oleh petani cenderung menyempit . Data sensus pertanian tahun 1993 dan 2003,
serta hasil penelitian Puslitbangtanak pada tahun 2002/2003 (Abdurachman et al. 2005) menunjukkan luas lahan pertanian
di Jawa cenderung menurun, sedangkan di luar Jawa sedikit meningkat. Di lain
pihak, jumlah rumah tangga petani (RTP) meningkat secara signifikan dari 22,40
juta menjadi 27,40 juta dalam 10 tahun terakhir. Luas penguasaan lahan
rata-rata nasional menurun dari 0,86 ha menjadi 0,73 ha per RTP. Sejalan dengan
itu, jumlah petani gurem (luas lahan garapan < 0,50 ha) meningkat dari 10,80
juta RTP pada tahun 1993 menjadi 13,70 juta pada tahun 2003, atau rata-rata
meningkat 2,40%/tahun. Bila luas lahan pertanian tidak bertambah secara
signifikan seiring dengan laju pertambahan penduduk mak jumlah petani gurem
akan makin bertambah dan peluang perambahan hutan meningkat.
5.
Penggunaan dan Ketersediaan Lahan
Menurut
Badan Pusat Statistik (2005), lahan pertanian Indonesia meliputi 70,20 juta ha, sekitar 61,53 juta ha di antaranya
berupa lahan kering (Tabel 2) dengan produktivitas relatif rendah, jauh di
bawah potensi hasil. Produktivitas padi gogo berkisar antara 2−3 t/ha, padahal
potensinya dapat mencapai 4−5 t/ha (Sumarno dan Hidayat 2007). Demikian juga
komoditas
lain,
seperti kedelai, masih dapat ditingkatkan. Menurut Subandi (2007), peluang
peningkatan produktivitas kedelai masih terbuka, karena hasil di tingkat petani
(0,60−2 t/ha) masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan hasil di tingkat
penelitian, yang berkisar antara 1,70−3,20 t/ha. Selain meningkatkan
produktivitas lahan kering yang sudah ada (existing), produksi bahan pangan
dapat pula ditingkatkan melalui perluasan areal tanam pada lahan kering. Dari
76,22 juta ha lahan kering yang sesuai untuk pertanian (Tabel 1), lahan yang
telah digunakan (tegalan,
perkebunan,
kayu-kayuan, dan pekarang.
STRATEGI PENGELOLAAN
LAHAN KERING
Menurut Abdurachman
(2008), strategi yang dapat diterapkan untuk mengelola lahan kering agar dapat
bermanfaat bagi lahan pertanian antara lain sebagai berikut :
1.
Identifikasi Lahan Yang Sesuai
Cara
yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi lahan yang sesuai untuk pertanian,
terutama lahan alang-alang dan semak belukar adalah dengan menggunak a n peta pada penggunaan skala 1 : 250000 yang ditumpang tempatkan dengan peta arahan
tata ruang pertanian. Dengan cara ini, diperoleh data tentang lahan kering
cadangan seluas 22,39 juta ha, yang terdiri atas 7,08 juta ha sesuai untuk
tanaman pangan semusim dan 15,31juta ha untuk tanaman tahunan. Untuk memperoleh
data yang lebih tepat, harus digunakan peta tanah atau peta kesesuaian dan peta
penggunaan lahan dengan skala yang lebih besar, misalnya 1:50.000 atau lebih
baik lagi skala 1:25.000. Selain itu, data biofisik lahan perlu ditunjang
dengan informasi sosialekonomi, terutama status kepemilikan lahan, sehingga
pengembangan pertanian tidak terbentur pada permasalahan nonteknis, yang dapat
menggagalkan pendayaguna an lahan ke r
ing yang telah direncanakan.
2.
Seleksi Teknologi Tepat Guna
Teknologi
pengelolaan lahan kering untuk pertanian tanaman pangan telah tersedia, baik
teknologi konservasi tanah, peningka t an ke subur an t anah,
penge lol a an bahan organik tanah, dan
pengelolaan air. Dari sekumpulan teknologi tersebut, perlu di s e l eks
i t eknologi yang t
epa t guna , sesuai dengan kondisi lahan
(tanah, air, dan iklim) dan petani. Oleh karena itu, perlu diketahui terlebih
dulu karakteristik lahan dan kondisi petani agar teknologi yang terpilih
betul-betul efektif dan dapat diadopsi petani. Karakteristik lahan dapat
diketahui melalui pemetaan skala detail (1:50.000 atau 1:25.000), atau lebih
detail, skala 1:10.000 atau 1:5.000. Dengan menggunakan peta dengan skala
sangat detail, pemilihan komoditas dan teknologi dapat dilakukan dengan lebih
tepat. Aspek sosial-ekonomi petani dapat diketahui dengan melaksanakan survei
lapangan, misalnya dengan menggunakan metode Participatory Rural Appraisal
(PRA).
3.
Diseminasi Teknologi
Diseminasi
dan adopsi teknologi pada umumnya berjalan lambat, termasuk teknologi
pengelolaan lahan (tanah, air, dan iklim). Teknologi tersebut disebarkan
melalui seminar, simposium, jurnal, serta media cetak dan elektronik. Namun
akses penyuluh apalagi petani ke media tersebut relatif terbatas, sehingga cara
dan media penyampaian tersebut kurang efektif. Oleh karena itu, diperlukan
metode diseminasi secara langsung kepada petani, yang lebih mendekatkan sumber
teknologi dengan petani sebagai calon pengguna teknologi. Salah satu terobosan
dalam diseminasi teknologi pertanian adalah melalui Prima Tani (Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian 2006), yang bertujuan untuk mempe r c epa
t di s emina s i dan
adops I teknologi inovatif, terutama yang dihasilkan Badan Litbang
Pertanian. Melalui program ini, pertanian lahan kering, termasuk pengembangan
budi daya padi gogo, palawija dan sebagainya, misalnya dengan introduksi benih
unggul, pemupukan, dan rotasi tanaman, dapat
be
rkembang l ebih c epa t
dan mampu meningkatkan produksi bahan pangan nasional secara signifikan.
4.
Peningkatan Penelitian Pertanian Lahan
Kering
Penelitian
padi saat ini lebih terfokus pada padi sawah, yang telah menghasilkan
berbagai
varietas unggul dan teknologi budi daya seperti pengendalian hama/ penyakit,
pemupukan, dan pengairan. Penelitian dan pengembangan padi gogo jauh
tertinggal. Sejalan dengan itu, minat
dan upaya petani untuk mengembangkan padi gogo juga relatif rendah, tercermin
dari luas pertanaman setiap tahun yang jauh lebih rendah dari luas lahan sawah.
Ke
depan, penelitian dan pengembangan pe r t ani an l ahan ke r ing pe r lu mendapat perhatian
yang lebih besar, termasuk pembiayaannya. Akan lebih baik bila penelitian
diarahkan pada teknologi penge lol a an padi
gogo dan pa l awi j a sebagai bagian dari sistem usaha tani
(farming
system) yang disesuaikan dengan kondisi spesifik lokasi. Penelitian hendaknya
dilaksanakan secara komprehensif, dalam arti peneliti tidak bekerja
sendiri-sendiri, tetapi dalam suatu tim dari berbagai disiplin ilmu, sehingga
dapat menghasilkan teknologi yang efektif dan menguntungkan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurachman, A., Dariah, A., dan Mulyani, A. 2008. Strategi dan teknologi pengelolaan lahan
kering mendukung pengadaan pangan nasional. Jurnal Litbang Pertanian 27 (2)
: 43-49.
Nilai Penyuluhan
BalasHapusSumber Teknologi / ide : Abdurachman, A., Dariah, A., dan Mulyani, A. 2008. Strategi dan teknologi pengelolaan lahan kering mendukung pengadaan pangan nasional. Jurnal Litbang Pertanian 27 (2) : 43-49.
Sasaran : Petani, pembuat kebijakan, peneliti, dosen dan mahasiswa yang berkecimpung di bidang pertanian.
Manfaat : Manfaat yang dapat diambil setelah membaca artikel ini kita menjadi tahu karakteristik lahan kering dan aspek apa saja yang perlu diperhatikan dalam mengelola lahan kering dan strategi untuk mengati kendala-kendala pada lahan kering.
Nilai Pendidikan : Artikel ini memberikan ilmu dan inspirasi bahwa ekstensifikasi lahan bisa dilakukan di lahan kering. Memanfaatkan lahan kering untuk sektor pertanian dapat mendongkrak produksi pangan nasional karena lahan kering masih belum dimanfaatkan secara optimal. Selain itu pada artikel ini dijelaskan hal-hal mengenai lahan kering di Indonesia seperti kesuburan, topografi, ketersediaan air, kepemilikan lahan, serta penggunanaan dan ketersediaan lahan.
Nilai Berita yang Terkandung dalam Artikel
Proximity : Artikel tersebut bersifat dekat dengan petani karena yang dibahas adalah seputar pertanian.
Importance : Tulisan tersebut mengandung info yang dibutuhkan petani yaitu bagaimana memanfaatkan lahan kering dengan baik.
Policy : Kebijakan pemerintah dalam memutuskan ekstensifikasi lahan kering berkaitan dengan kepentingan petani.
Conflict : Permasalahan yang diangkat pada artikel ini adalah pemanfaatan lahan kering masih sering diabaiakan oleh pengambil kebijakan. Mereka lebih tertarik pada lahan basah. Padahal lahan basah jumlahnya terbatas, selain itu juga lahan kering memiliki potensi besar untuk dimanfaatkan.
Consequence : Konsequensi yang didapat jika lahan kering dimanfaatkan untuk pertanian menurut penulis artikel dapat membantu produksi beras nasional. Sehingga Indonesia mempunyai potensi untuk swasembada pangan.
Zulfia Hafsah Firdiyani
15/383523/PN/14354