Jumlah populasi di dunia ini dari
tahun ke tahun akan semakin bertambah dan jenis kebutuhan manusia akan
meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah populasi di dunia. Hal ini juga
terjadi pada kebutuhan akan energi semakin meningkat sehingga persediaan energi
khususnya energi yang tidak dapat diperbaharui semakin berkurang
pula kuantitasnya, bahkan lama-kelamaan akan habis. Hal
ini dapat
dilihat dari jumlah konsumsi BBM Indonesia terus meningkat. Saat ini, hampir
80% kebutuhan energi dunia dipenuhi oleh bahan bakar fosil. Padahal, penggunaan
bahan bahar fosil bisa mengakibatkan pemanasan global.
Untuk mengurangi ketergantungan pada
bahan bakar fosil (minyak/gas, bumi, dan batu bara) sebagai sumber energi yang
tidak terbarukan, tentu akan mencari sumber-sumber energi lainnya yang akan
digunakan sebagai bahan bakar alternatif atau pengganti asalkan potensi sumber
dayanya mudah diperoleh secara lokal supaya harganya lebih murah dan
terjangkau.
Biodiesel adalah salah satu bahan
bakar alternatif yang ramah lingkungan dan tidak beracun. Sehingga, lebih
aman jika disimpan dan digunakan serta tidak mempunyai efek terhadap kesehatan
yang dapat dipakai sebagai bahan bakar kendaraan bermotor. Biodiesel yang
berasal dari minyak nabati dikenal sebagai sumber daya yang dapat diperbaharui
karena umumnya dapat diekstrak dari berbagai hasil produk pertanian dan
perkebunan. Bahan baku yang berpotensi sebagai bahan baku pembuat
biodiesel antara lain kelapa sawit, kedelai, jarak pagar, alpukat, dan beberapa
jenis tumbuhan lainnya (Martini 2005).
Salah satu sumber bahan baku
biodiesel adalah buah alpukat. Bagian dari buah alpukat yang dapat digunakan sebagai
biodiesel adalah bijinya, melalui esterifikasi dan/transesterifikasi dengan
alkohol serta bantuan katalis. Untuk mengetahui kelayakan minyak biji
alpukat sebagai bahan baku biodiesel, maka perlu dilakukan beberapa pengujian
untuk mengetahui angka asam, asam lemak bebas, densitas minyak, viskositas, dan
yield.
Salah satu alasan mengapa
menggunakan biji alpukat dibandingkan dengan tanaman lainnya dikarenakan buah
alpukat banyak terdapat di lingkungan masyarakat yang bijinya belum
dimanfaatkan secara maksimal. Selain itu, yang paling penting yaitu kandungan
minyak biji alpukat lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman-tanaman seperti
kedelai, jarak, biji bunga matahari, dan kacang tanah. Pemilihan biji alpukat
sebagai salah satu sumber minyak nabati karena kandungan minyaknya relatif
tinggi dibandingkan tanaman lain yaitu sekitar 2638 liter/ha dalam 2217 kg/ha.
Sedangkan tanaman seperti jarak adalah 1892 liter/ha dalam 1590 kg/ha dan bunga
matahari 925 liter/ha dalam 800 kg/ha. Selain itu, bahan bakar ini lebih
ekonomis dan ramah lingkungan karena kadar belerang dalam minyak tersebut
kurang dari 15 ppm, sehingga pembakaran berlangsung sempurna dengan dampak
emisi CO, CO2 serta polusi udara yang rendah (Sofia 2006).
Beragam penelitian mendukung
penggunaan minyak biji alpukat sebagai biodiesel. The National Biodiesel Foundation
(NBF) telah meneliti buah alpukat sebagai bahan bakar sejak 1994. Joe Jobe
selaku direktur eksekutif NBF mengungkapkan bahwa biji alpukat mengandung lemak
nabati yang tersusun dari senyawa alkil ester. Bahan ester itu memiliki
komposisi yang sama dengan bahan bakar diesel, bahkan lebih baik dibandingkan
solar sehingga gas buangnya lebih ramah lingkungan. Pemanfaatan biji alpukat
sampai sekarang hanya digunakan sebagai obat penghilang stress saja dan belum
dimanfaatkan untuk yang lainnya padahal biji alpukat memiliki kandungan fatty
acid methyl ester sebagai bahan pembuat biodiesel. (Hidayat 2008)
Biodiesel dibuat melalui suatu
proses kimia yang disebut transesterifikasi dimana gliserin dipisahkan dari
minyak nabati. Proses ini menghasilkan dua produk yaitu metil esters
(biodiesel)/mono-alkyl esters dan gliserin yang merupakan produk samping. Bahan
baku utama untuk pembuatan biodiesel ini adalah minyak biji alpukat.
Sedangkan sebagai bahan baku penunjang yaitu alkohol. Pada pembuatan biodiesel
dibutuhkan katalis untuk proses esterifikasi, katalis dibutuhkan karena alkohol
larut dalam minyak. Alkohol yang digunakan sebagai pereaksi untuk minyak nabati
adalah methanol, namun dapat pula digunakan ethanol, isopropanol atau butyl,
tetapi perlu diperhatikan juga kandungan air dalam alkohol tersebut. Bila
kandungan air tinggi akan mempengaruhi hasil biodiesel yang kualitasnya rendah,
karena kandungan sabun, ALB dan trigliserida tinggi. Disamping itu, hasil
biodiesel juga dipengaruhi oleh tingginya suhu operasi proses produksi, lamanya
waktu pencampuran atau kecepatan pencampuran alkohol.
Katalisator dibutuhkan pula guna
meningkatkan daya larut pada saat reaksi berlangsung. Pada umumnya produksi
biodiesel dilakukan menggunakan katalis homogen yaitu KOH atau NaOH yang
memiliki beberapa kelemahan yaitu tidak dapat digunakan kembali. Selain itu
dapat menghasilkan reaksi samping yang tidak diharapkan (saponifikasi),
pemisahan antara katalis dan produk harus melalui berbagai tahapan sehingga
meningkatkan biaya produksi. Pada katalis heterogen seperti: CaO, MgO, dan CaCO3 kelemahan
diatas dapat dicegah karena katalis-katalis ini berbentuk padat, sehingga mudah
dipisahkan dan dapat diperoleh kembali (recovery) melalui dekantasi dan
filtrasi menggunakan alat yang sederhana. Dengan demikian dapat menghemat biaya
produksi dan diharapkanyield yang dihasilkan lebih tinggi
dibandingkan menggunakan katalis homogen. Katalis yang akan dipilih tergantung
minyak nabati yang digunakan, apabila digunakan minyak mentah dengan kandungan
ALB kurang dari 2%, disamping terbentuk sabun dan juga gliserin. Katalis
tersebut pada umumnya sangat higroskopis dan bereaksi membentuk larutan kimia
yang akan dihancurkan oleh reaktan alkohol.
Bahan baku yang digunakan pada
pembuatan biodiesel ini yaitu biji alpukat. Biji alpukat dikeringkan pada suhu
±110ºC selama ±60 menit. Kemudian diekstraksi menggunakan pelarut n-heksana
pada suhu 65ºC sebanyak 5 siklus. Selanjutnya larutan ekstrak dievaporasi pada
suhu 40ºC dalam keadaan vakum. Pemurnian minyak dilakukan dengan cara degumming menggunakan
H3PO4 0,8%, sedangkan pemisahan gum menggunakan
sentrifuga 2500 rpm. Ekstraksi ini dilakukan menggunakan sokhlet dengan
suhu operasi 65ºC. Untuk memisahkan minyak dari pelarutnya dilakukan evaporasi
secara vakum pada suhu 40ºC.
Pemurnian dilakukan dengan
menggunakan metode degumming. Metode ini bertujuan untuk
menghilangkan pengotor seperti getah atau lendir yang terdiri dari fosfatida,
protein, karbohidrat, dan air tetapi tidak menghilangkan asam lemak bebas (FFA)
yang terdapat pada minyak biji alpukat (Mittlebach 2004). Sentrifugasi
dilakukan untuk memisahkan antara getah (gum) dengan minyak.
Tahap berikutnya adalah penelitian
utama, yaitu pembuatan metil ester (biodiesel) dari minyak biji alpukat melalui
transesterifikasi pada suhu 60ºC selama 1 jam. Dalam percobaan ini kalsium
metoksida direaksikan dengan minyak biji alpukat murni. Kalsium metoksida
dibuat dengan cara mereaksikan antara metanol dengan kalsium oksida (CaO).
Jumlah CaO yang digunakan adalah 2% dan 6%/b-minyak, sedangkan perbandingan mol
antara minyak dengan metanol yang digunakan adalah 1:6.
Kelebihan penggunaan katalis
heterogen dibandingkan dengan katalis homogennya ialah bahwa pemisahan katalis
heterogen lebih mudah dan dapat digunakan kembali. Dalam penelitian ini hal
tersebut di atas sudah tercapai dengan terbentuknya tiga fasa yaitu lapisan
atas adalah biodiesel, tengah gliserol dan bawah CaO. Dengan demikian CaO dapat
digunakan kembali (recovery CaO).
Hasil analisis sifat fisika dan
kimia biodiesel menggunakan variasi konsentrasi katalis CaO (%-b) dapat
diperoleh nilai angka asam dan %FFA, CaO 6% b-minyak memiliki nilai yang lebih
rendah dibandingkan dengan CaO 2% b-minyak. Sehingga pada penggunaan CaO 6%
b-minyak menghasilkan biodiesel yang memiliki karakteristik mendekati SNI.
Penentuan sifat fisika dan kimia
biodiesel tidak seluruhnya dilakukan sesuai dengan penentuan yang tertera pada Syarat
Mutu Biodiesel. Yang diuji hanya sifat fisika dan kimia biodiesel yang mewakili
(representatif) penggunaannya di mesin yaitu viskositas, massa jenis, pH, kadar
air, %FFA, dan angka asam.
Biodiesel mengandung metil ester
sebesar 48,02%. Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua minyak biji alpukat dapat
dikonversi menjadi metil ester. Penyebab rendahnya jumlah metil ester masih
adanya kandungan air dalam minyak saat transesterifikasi, sehingga pembentukan
senyawa metoksida belum sempurna. Bila ditinjau dari komposisi asam lemak jenuh
dan tak jenuhnya, biodiesel hasil penelitian mengandung 38,87% asam lemak tak
jenuh dan 9,15% asam lemak jenuh. Hal ini sesuai dengan literatur yang
menyatakan bahwa minyak nabati yang dapat diolah menjadi biodiesel harus memiliki
kandungan asam lemak tak jenuh yang tinggi karena dapat mencegah terbentuknya
padatan yang akan menghambat kinerja mesin. Berdasarkan hasil analisis fisika
dan kimia menunjukkan bahwa minyak biji alpukat layak digunakan sebagai bahan
baku pembuatan biodiesel, namun belum mencapai perolehan yang optimum.
Biodiesel dari minyak biji alpukat
diperoleh dengan proses transesterifikasi. Penggunaan katalis heterogen kalsium
oksida (CaO) dalam transesterifikasi tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
karakteristik biodiesel yang dihasilkan, sedangkan kelebihannya dapat digunakan
kembali karena pemisahannya lebih mudah. Berdasarkan sifat kimia dan fisikanya
minyak biji alpukat (Persea gratissima) dapat dimanfaatkan sebagai bahan
baku pembuatan biodiesel.
Sumber
:
Nama/
NIM : Amrina Rosyada/ 15/378267/PN/14073
0 komentar:
Posting Komentar